Pages

Minggu, 09 November 2014

Menjadi Liberal Tanpa Sadar

"Menjadi Liberal Tanpa Sadar"
oleh: AU Shalahuddin Z

ADA lima paham berbahaya yang patut dicurigai umat Islam, yang selama ini sudah digencarkan sebagai bentuk penjajahan model baru (neokolonialism) dengan cara menyebarkan ide-ide pemikirannya (ghazwul fikr) terhadap negara-negara lain secara global (globalisasi). Di antaranya;
• nihilisme (sederhananya, pengingkaran terhadap tuhan)
• relativisme (tidak ada kebenaran yang mutlak)
• anti-otoritas (tidak ada klaim kebenaran)
• pluralisme-multikulturalisme (tidak ada yang paling benar)
• equality (kesetaraan)
• feminisme/gender (tidak ada yang fitrah antara laki-laki dan perempuan).
Serbuan paham liberalisme dan relativisme mengguyur umat Islam sampai tak terasa membedakan; tauhid-syirik, haq – bathil, antara iman dan kufur.
Beberapa contoh pernyataan yang terpengaruh paham relativisme adalah seperti ini;
“Manusia itu relatif hanya Tuhan yang mutlak. Jadi, hanya Tuhan saja yang paham kebenaran, sehingga manusia tidak boleh merasa benar sendiri.”
“Meski dia bertato dan merokok, tapi dia seorang milyuner dan dikenal dermawan.”

“Jangan liat chasing nya…..orang begajulan juga bisa sukses, daripada berhijab tapi korupsi.”
Inilah salah satu paham relativisme kebenaran. Cara berpikir relativisme sebenarnya paradoks dengan ucapannya sendiri. Alih-alih opininya benar, namun sesungguhnya ia hanyalah menjadi pembela tanpa celah.
Relativisme berasal dari kata Latin, relativus, yang berarti nisbi atau relatif. Sebagai paham dan pandangan etis, relativisme berpendapat bahwa yang baik dan yang jahat, yang benar dan yang salah tergantung pada masing-masing orang dan budaya masyarakatnya.
Ajaran seperti ini dianut oleh Protagras, Pyrrho, dan pengikut-pengikutnya, maupun oleh kaum Skeptik.
Karena skeptis dan ‘Menjadi Liberal Tanpa Sadar’, orang sudah tak jernih dan tak mampu mana haq dan mana bathil. Maka, orang berzina, menenggak alkohol, menjual barang haram, pelaku kejahatan, perilaku menyimpang tidak akan dianggap SALAH dan JAHAT, kecuali banyak orang sepakat menyebutnya SALAH dan JAHAT. Semua relatif, dan semua diserahkan “kesepakatan” yang berlaku dan nilai “kepantasan”.
Bagi pembela paham liberalisme, tidak penting kerudung-dan jilbabnya karena itu hanya kulit, tapi yang penting baik (isinya). Bagi penganut liberal, tidak penting syariatnya (kulitnya), sebab yang penting hasilnya (isinya).
Bagi kaum liberal juga, tidak penting shalat (karena itu kulit), tapi yang penting ingat Allah (isinya) atau amalnya. Begitulah cara mereka berfikir.
Padahal Islam mengarahkan setiap pribadi manusia untuk membina fisik dan jiwanya secara sempurna dan seimbang, tidak timpang pada salah satunya. Karena itu, Islam menyeru umatnya berpegang dengan akhlak mulia, sebagaimana

suri teladan umat ini yaitu Rasulullah yang telah disifati oleh Allah dengan firman-Nya;
وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan sesungguhnya engkau benar-benar berada di atas akhlak yang mulia.” (QS. Al Qalam: 4)
Sa’ad bin Hisyam pernah bertanya kepada ‘Aisyah rodhiAllahu ‘anha tentang akhlak Rasulullah, maka ‘Aisyah rodhiAllahu ‘anha menjawab, “Akhlak beliau adalah Al Quran.” Lalu Sa’ad berkata, “Sungguh saya ingin berdiri dan tidak lagi menanyakan sesuatu yang lain.” (HR. Muslim)
Jadi ukuran “baik” dan “buruk” bagi umat Islam adalah akhlaq mulia berdasarkan Al-Quran, bukan hanya karena suka berderma atau sekedar sopan. Tak ada artinya di hadapan Allah orang yang sopan, kalem, suka berderma jika semua kegiatannya masih dilarang Allah.
Di Al-Quran, dua kata yang sering muncul bergandengan adalah IMAN dan AMAL SHALIH.
“Beriman dan beramal shalih” merupakan salah satu frase yang paling sering digunakan al-Qur’an. Konsep “iman” disebut bersamaan dengan konsep “amal shalih” di 71 tempat dalam al-Qur’an, empat di antaranya disebut bersamaan pula dengan konsep “taubat”.
Keterkaitan dua konsep itu diungkapkan secara bervariasi dan yang paling kerap dipakai adalah redaksi “alladzina amanu wa `amilu al-shalihat” yang terulang sebanyak 52 kali,[2] termasuk pada dua surat di muka. Kata “amanu” sendiri terulang 258 kali dalam al-Qur’an, dan kata “`amilu al-shalihat” sendiri terulang 53 kali.
Begitu kerapnya “iman” dan “amal shalih” disebut berbarengan, seolah-olah al-Qur’an hendak memberi isyarat bahwa mereka yang beriman bukanlah orang yang beriman kecuali jika mereka memanifestasikan keyakinan –yang mereka miliki di dalam hati– ke dalam perbuatan tertentu yang –pantas dilabeli predikat– shalih. Amal shalih, demikian Toshihiko Izutsu, secara singkat adalah iman yang diungkapkan sepenuhnya lewat perbuatan luar. Izutsu melukiskan kaitan antara iman dan amal shalih “seperti bayangan yang mengikuti bentuk bendanya”. [dalam Toshihiko Izutsu, “Konsep-konsep Etika Religius dalam Qur’an”, terj. Agus Fahri Husein dkk, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1983, h. 246]
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ طُوبَىٰ لَهُمْ وَحُسْنُ مَـَٔابٍۢ
“Orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik.” [Ar Ra'd 29]
Jadi menjadi baik, suka bertetangga, rajin menabung, rajin membantu, baik hati, sopan saja tak cukup dan tidak jadi ukuran di mata Allah. Dia baru dianggap BAIK jika BERIMAN (bertauhid) dan BERAMAL SHALIH (amal/kegiatan/perilakunya harus sesuai syariah).
Bahasa kerennya dalam Islam amal harus meliputi 3 hal; Niat (fikrah/konsep/isinya) harus karena Allah, metode (thariqah/kulitnya) juga harus sesuai Allah dan cara (uslub nya) juga harus diridhoi Allah.
Jadi kalau ada orang kaya baik hati, rajin membantu, tapi dagangannya barang haram (apalagi tidak percaya Allah), amalnya tidak akan dinilai Allah.
Dalam Surat Al-Furqan ayat 23, Allah Ta’ala menegaskan, “..Kami jadikan amal orang-orang kafir sia-sia bagaikan debu yang beterbangan.”
Islam melihat yang benar tetaplah sebuah kebenaran. Yang buruk tetaplah buruk. Tidak bisalah salah satunya dicampur hanya, karena kelihatannya baik.
Jadi jika ada pernyataan;
Berjilbab, rajin shalat tapi korupsi, jelas itu salah dan keliru!
Tidak berjilbab, bertato, (apalagi jika tak rajin shalat, menjual barang haram, jual kodok), meski dia baik hati di mata tetangga, bahkan sumbangan di kas desa paling banyak, maka kekeliruannya jauh lebih besar dari yang pertama!
Semoga kita tak ‘Menjadi Liberal Tanpa Sadar”!

meneruskan : 
Share artikel ke: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg

0 komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Komentar mu sob !!!