Syi’ah di Aceh Budaya atau Aqidah?
TULISAN Dr. M. Hasballah M. Sa’ad; “Syiah di Aceh” (Serambi,
Minggu, 22/02/2009) telah menggugah saya dan memberi tanggapan,
khususnya berkait Hikayat Muhammad Nafiah, putra Ali bin Abi Thalib dari
isterinya yang lain, yang didudukkan di paha kanan Rasulullah saw.
Sementara, cucu kesayangan beliau saw, Hasan dan Husen didudukkan di
paha kiri Rasul yang kemudian membuat Saida Fatimah, bermasam muka. Lalu
Rasul saw, menjelaskan bahwa Hasan dan Husein akan menemui ajal karena
dibunuh, dan Muhammad Nafiah akan menuntut bela atas kematian mereka
ini.
Bila benar yang dimaksudkan Muhammad
Nafiah adalah anak Ali bin Abi Thalib dari isteri yang lain, maka saya
ingin memperjelas bahwa isteri tersebut bernama Khaulah yang berasal
dari Sind yang tertawan pada perang Yamamah kemudian menjadi budak Bani
Hanafiah. Khalifah Abubakar memberikannya kepada Ali, dan hasil
perkawinan ini lahirlah Muhammad bin Ali bin Abu Thalib pada tahun 21 H.
yang terkenal bernama Ibnu Al-Hanafiah. Cerita yang menyebutkan Rasul
Saw memangkunya adalah sangat musykil sekali terjadi karena Rasul wafat
pada tanggal 12 Rabiul’awal tahun 11 hijrah, dan Muhammad Nafiah baru
lahir pada tahun 21 H.
Sejarah mencatat Ali bin Abi Thalib pada
perang Jamal tahun 36 H, dan pada perang Shiffin tahun 37 H. Dia
terkenal gagah berani, alim dan wara’. Meskipun dia keturunan dari Ali
bin Abi Thalib tapi Syi’ah Itsna Asy’ariyah tidak memasukkannya sebagai
salah satu Imam karena mereka membatasi imam, yaitu hanya pada anak-anak
Ali dari Fatimah r.a. Namun oleh faham Syi’ah sekte Al-Kisaniyah tidak
membatasi hanya dari anak-anak Fatimah r.a. Mereka mengangkat Muhmmad
bin Al-Hanafiah, menjadi salah satu Imam mereka, setelah berjuang
memerangi penguasa yang zalim akhirnya. Dia wafat pada tahun 81 H
sekembali dari Makkah menunaikan haji. Dia dikuburkan di Baqi.
Tragedi Karbala memang sangatlah tragis,
memilukan, dan keji. Sebagaimana disebutkan oleh Dr. Hasballah dalam
tulisannya. Duka nestapa dan airmata terus mengucur. Belum lagi kering
atas duka suatu peristiwa terjadi lagi peristiwa lain. Sejak terbunuhnya
Sayyidina Ali as oleh Abdurahman bin Muljam (kelompok Khawarij) pada
tanggaj 17 Ramadhan tahun 40 H, cucu kesayangan Rasul saw, Hasan pun
diracun oleh anak perempuan Shail bin Amr atas bujukan Muawiyah sehingga
menemui kesyahidannya pada tahun 50 H setelah menderita selama empat
puluh hari di pembaringan. Dan puncak kepiluan adalah terbunuhnya Husen
di Karbala pada tahun 61 H dengan cara yang sangat keji oleh Ubaidillah
bin Ziyad atas perintah Yazid bin Muawiyah.
Apa yang terjadi pada Sayyidina Husen
kembali terulang pada cucunya Zaid bin Ali Zainal Abidin bin Husen pada
tahun 122 H. Saat itu beliau berjuang melawan kekuasaan zalim Hisyam bin
Abdul Malik, kepalanya tertembus anak panah hingga menemui ajalnya.
Pengikutnya berusaha menyembunyikan jasad Zaid dengan menguburkan pada
tempat yang tersembunyi tetapi dapat diketahui oleh lasykar Bani Umayyah
lalu kuburannya digali kepalanya dipenggal dikirim ke Damaskus
sedangkan tubuhnya disalib di Kufah. Tragedi yang syahidnya Hasan dan
Husen menjadi tradisi keagamaan di Aceh sebagai penghormatan. Itu
menandakan bahwa di Aceh ada pemeluk Syi’ ah yang sering ditentang
karena beda faham dengan Ahlussunnah.
Mengenai Muawiyah dan anaknya Yazid,
Syeikh Nuruddin ar-Raniry yang menjadi mufti Kerajaan Aceh Darussalam
masa kekuasaan Iskandar Tsani (1045 -1050 M) mengeluarkan fatwa dalam
bentuk syair berikut. Kata Nuruddin ebeunu Hasanji, meunan neupekri lam
katanya Meupakat ulama dum na Aceh. menoe neupegah kalam calitra Saidina
Ali ngon Muawiyah. nibak Allah pangkat beusa, Soe yang ceureuca dua
ureung nyan. nibak Tuhan keunong meureuka Misei Yazid aneuk Muaw iyah,
Fe/ora lidah he syeedara.
Bek keuh takheun Yazid kaphe, hana dali Yang peusiasa. Hana hadih nibak nabi, hana dali kheun Rabbana. Indonesianya : Kata
Nurddin ibn Hasanji, demikian tegas dalam katanya Ulama Aceh telah
mufakat demikian riwayat ceritanya Saidina Ali dan Muawiyah, disisi
Allah mereka sama Siapa yang cerca orang dua itu. dari Allah murka
menimpa Juga Yazid anak Muawiyah, jaga lidahmu wahai saudara Janganlah
dikata Yazid kaf’ir, tiada dalil menopangnya Tiada hadis ucapan nabi,
tiada bukti firman Ilahi (Dr- Ahmad Daudy. MA .Allah dan Manusia dalam
Konsepsi Nuruddin Ar-Raniry, CV. Rajawali Jakarta).
Fatwa itu menunjukkan bahwa telah terjadi
perbedaan pemahaman dalam kontek peristiwa Perang Siffin (tahun 37 H)
dan Perang Karbala (tahun 60 H) dalam pandangan Sunni. Syeikh Nuruddin
mencoba mengaburkan dan memperingatkan ulama-ulama pada masa itu untuk
tiduk terpengaruh dengan ajaran Syi’ah. Perbedaan faham antara Syi’ah
dan Ahlussunnah terajut dalam rentang sejarah yang panjang yang membias
sampai ke Aceh dan mula berdirinya Kerajaan Peureulak (249 H) disusul
Kerajaan Samudra Pase (433 H) sampai pada Kerajaan Aceh Darussalam
(920-1322).
Fatwa itu merupakan juga suatu ilustrasi bahwa paham Syi’ah pernah
berkembang di Aceh. Bait terakhir adalah merupakan suatu pengunci agar
hal itu tidak dibicarakan lagi. Berdasarkan fakta sejarah saya tidak
merasa enggan untuk berkesimpulan bahwa faham Syi’ah pernah berkembang
di Aceh. Namun dengan banyaknya ulama Ah1ussunnah baik di Aceh ataupun
yang datang dari Mekah yang menganut mazhab Syafi’iah pengaruh Syi’ah
pun mulai memudar. Dan bila sekarang ada yang melantunkan syair Hasan
Husen atau ritual lainnya dengan simbol- simbol Syi’ah adalah
semata-mata karena kecintaan mereka kepada ahlu1 bait, tapi mereka
mungkin (?) bukan penganut faham Syi’ah. *** SELESAI.==================================================================
BERIKUT POSTINGAN PADA SERAMBI INDONESIA BEBERAPA WAKTU LALU.
Syi'ah Aceh
[ penulis: Dr. Hasballah M Saad ]
ADAKAH pemeluk Syiah di Aceh? Ini perlu
dipertanyakan ketika banyak sekali simbol symbol “syiah” ditemukan, dan
sangat menonjol di kehidupan sehari hari masyarakat Aceh..
Sejarah mula kedatangan Islam ke Aceh,
pemimpinnya dikenal bernama Shir, seperti Shir Poli, Shir Nuwi, Shir
Duli. Dalam hikayat hikayat Aceh lama, kata gelar Shir sering pula
disebut Syahir. Misal, Shir Nuwi dibaca Syahir Nuwi, Shir Poli dibaca
Syahir Poli dst. Kata Syahir ini lebih kurang setara dengan kata Ampon
Tuwanku dalam tradisi melayu di Malaysia.
Asal kata shir, datangnya dari keluarga
bangsawan di kawasan Persia, dan sekitanya. Maka putri Raja Persia yang
setelah negerinya ditaklukkan Umar Ibnul-Khatab, ditawan dan dibawa ke
Madinah, mulanya bernama Shir Banu. Setelah dibebaskan oleh Ali bin Abi
Thaleb, Shir Banu menikah dengan putra Ali bernama Husen. Sementara dua
saudara Shir Banu lainnya menjadi menantu Abubakar dan menantu Umar
Ibnul Khattab. Belakangan nama menantu Ali itu berubah menjadi Syahira
Banu, dan dalam lafal di Hikayat Hasan Husen, nama itu dipanggil Syari
Banon, yang menjadi isteri Sayyidina Husen bin Ali. Husen syahid dibunuh
Yazid bin Muawiyah di Karbala pada 10 Muharam. Shir Banu atau Syari
Banon menjanda sambil membesarkan anaknya Ali Zainal Abidin, yang sering
dipanggil Imam as-Sajad, karena selalu suka bersujud (shalat).
Dalam hikayat Hasan Husen, nama Syari
Banon disebut berulang ulang karena beliau ini mendampingi suami dengan
sangat setianya, hingga ke kemah terakhir di Karbala, mengantar Husen
menuju kesyahidan. Banon bersama putra kesayangannya Ali Zainal Abidin
yang masih sangat belia, menyaksikan sendiri tragedy yang jadi sejarah
hitam umat Islam, karena darah titisan Rasul saw tumpah di bumi Kufah
oleh tangan orang yang mengatasnamakan dirinya khalifah kaum muslimin.
Peristiwa Karbala ini, di Aceh diperingati dengan khanduri A‘syura
secara turun temurun. Adakalanya diiringi dengan membaca hikayat Hasan
Husen, dan para wanita Aceh mempersiapkan penganan sebagai khanduri keu
pangulee. Acapkali pula, para pendengar hikayat ini mencucurkan airmata
tatkala ceritera sampai kepada pembantaian anak cucu Rasulullah saw itu.
Rafli, penyanyi Aceh kontemporer mendendangkan peristiwa itu dengan lirik:
//”Lheuh syahid Hasan ji prang lom Husen/ Ji neuk poh bandum cuco Sayyidina/ Dum na pasukan bandum di yue tron/ Lengkap ban ban dum alat senjata”// ( Dah syahid Hasan, Husen pun digempur/ Nak dihabisi cucu Sayyidina (Rasulullah)/ Seluruh pasukan disuruh turun/ Lengkap semua dengan senjata.)
Semangat mencintai ahlul bait, keluarga
Rasulullah saw itu muncul pula di Aceh dalam bentuk tari tarian. Di
antaranya yang terkenal adalah Saman Aceh. Ragam gerak, lirik lagu dan
ratoh dipenuhi symbol symbol Karbala . “Tumbok Tumbok Droe”(memukul
mukul dada sendiri) dilakukan oleh para pemain Saman Aceh (juga dalam
seudati) sebagai symbol penyesalan Karbala . Seluruh gerak tari Saman
itu diilhami oleh kepedihan, penyesalan, dan ratap tangis atas syahidnya
Sayyidina Husen, yang terperangkap oleh tipu daya penduduk Kufah yang
mendukung Yazid bin Muawiyah.
Di Iran, dan beberapa kawasan sekitar
benua Persia itu, amat lazim dijumpai perempuan dan laki laki memukul
mukul dada hingga ada yang berdarah untuk mengenang peristiwa Karbala di
hari Asyura, setiap tahunnya. Dalam naskah hikayat Muhammad Nafiah,
yang mengisahkan peran adik laki laki Hasen bin Ali dari lain ibu, yasng
menuntut bela atas syahidnya Husen di Karbala, jelas sekali dilukiskan
bagaimana pengikut Yazid “dikafirkan” oleh sang penulis hikayat itu.
Tatkala Muhammad Nafiah ingin mengeksekusi mati seorang lagi perempuan
hamil yang masih hidup, sementara yang lain sudah dibunuh semua, maka
turunlah suara dari manyang (langit)
//”Sep ka wahe Muhammad Nafiah, bek le tapoh kaphe ulu/ Bah tinggai keu bijeh, agar uroe dudoe mangat na asoe neuraka”// ( “Cukup sudah wahai Muhammad Nafiah, jangan lagi dibunuh kafir hamil itu/ agar dia beranak pinak lagi untuk isi nereka kelak”)
Karensa Muhammad Nafiah ingin mengabaikan
perintah penghentian pembantaian itu, maka tiba tiba dia dan kudanya
diperangkap oleh kekuatan sghaib. Lalu terkurunglah dia bersama kudanya
dalam sebuahgua batu. //Muhammad Nafiah lam guha bate/ Sinan meu
teuentee dua ngen guda// (Muhammad Nafiah dalam gua batu/ Terkurung
disitu bersama kudanya).
Dalam bagian lain, dikisahkan bahwa pada
suatu hari, ketika Muhammad Nafiah masih kecil, Ali bin Abi Thaleb
membawa pulang ke Madinah anak laki lakinya itu dan duduk duduk
bercengkerama bersama Rasul dan dua kakaknya lain ibu, Hasan dan Husen.
Rasulullah saw mendudukkan Hasan dan Husen di pangkuan sebelah kiri,
sementaara Muhammad Nafiah duduk di atas paha kanan Rasulullah. Tatkala
Fatimah, ibunnya Hasan dan Husen melintas, dia bermasam muka karena
melihat justru putra Ali yang bukan berasal dari rahim Fatimah mendapat
tempat di sebelah kanan Rasulullah, sementara putra putranya, Hasan dan
Husen duduk di paha kiri Rasul.
Rasul memandang wajah masam Fatimah az-Zahra, putri kesayangannya itu. Lalu Rasul memanggil Fatimah, dan bersabda:
“Wahai anakku, janganlah bermasam muka.
Yang ini, sambil menunjuk Hasan dan Husen, akan menemui ajal kelak
ketika kita sudah tiada, karena dibunuh orang. Yang inilah, sambil
menunjuk Muhammad Nafiah, yang akan menuntut bela atas kematian kedua
mereka ini, maksudnya Hasan dan Husen. Jibrail telah menyampaikann hal
itu kepeda ku wahai Fatimah”
Mendengar ucapan Rasul waktu itu, barulah
wajah Fatimah kembali berseri seperti sediakala. Ada pesan Jibrail
kepada Rasulullah atas peristiwa yang bakal terjadi atas anak cucunya
setelah Rasul dan Fatimah tiada kelak. Begitu mulianya kedudukan
Muhammad Nafiah, putra Ali dari isteri lain, (mungkin hasil perkawinan
mut‘ah dalam peperangan yang lama).
Hikayat itu telah menjadi bacaan sehari
hari kaum muslimin di Aceh. Dalam benak orang Aceh, kafir perempuan yang
hamil tua itu, meskipun dia adalah pemeluk agama Islam, namun dipandang
sebagai kafir karena dia pengikut Yazid bin Muawiyah. Dam inilah cikal
bakal kafir sekarang ini yang akan menjadi pengisi neraka kelak. Wallahu
’aklamu bis-shawab!
Jika dibandingkan dengan ceritera tentang
kehebatan Amerika dalam film-film perang mereka dengan Vietnam
umpamanya, muncul kesan publik bahwa Amerik-lah yang paling jagoan,
meskipun semua orang tahu pada akhirnya dia harus angkat kaki dari
negara bekas jajahan Perancis itu, meskipun orang Vietnam melawan dengan
bambu runcing. Tak ada catatan sejarah yang akurat tentang Muhammad
Nafiah yang menghabiskan seluruh pasukan Yazid di Kufah, namun hikayat
itu justru mengisahkan yang tinggal hanya seorang “kaphe ulu” (maaf:
hamil) yang anak turunannya menjadi cikal bakal penghuni neraka kelak.
Saya bisa memahami bagaimana kepedihan
kaum muslimin katika Husen syahid, dan perasaan itu dihibur dengan
pembelaan yang gemilang oleh cerita kemenangan Muhammad Nafiah bin
Sayyidina Ali, setelah Husen dan pengikutnya syahid di Karbala. Ini juga
menjadi bukti terhadap apa yang diriwayatkan, tentanag ceritera Fatimah
bermasam muka, karena Hasan Husen diletakkah di atas paha kiri
Rasulullah, ketika mereka masih kecil dulu dan Muhammad Nafiah justru
dipaha kanan Rasul.
Dalam tradisi Aceh, hikayat berbentuk
hiburan yang selalu mengandung pesan, nasihat, sumber pengetahuan,
sejarah serta agama. Hikayat Hasan Husen, Nubuwat Nabi, Fatimah Wafat,
Muhammad Nafiah dll. merupakann bacaan rakyat yang utama disamping
hikayat hikayat lain seperti Putroe Gumbak Meuh, Peurakoison, Nun
Farisi, Indra Budiman, Indra Bangsawan, Baya Siribee, dll. Kala itu
memang belum ada novel Lasjkar Pelangi, atau Sang Pemimpi, atau Ayat
Ayat Cinta dsb. Sinetron pun belum dikenal oleh masyarakat Aceh lama.
Maka ceritera dalam hikayat lah yang menjadi referensi perilaku, sumber
nasehat, dan pengetahunan sejarah bagi masyarakat luas.
Di kawasan pantai barat Aceh, termasuk
utamanya Aceh Selatan, berkembang kesenian tradisional “Pho” Tari pho
dimainkan oleh sejumlah anak anak gadis remaja, dengan mendendangkan
syair penuh nuansa sendu, seumpama orang meratapi kematian. Dalam format
khusus, gadis remaja menyusun format berkeliling melingkar, dan
meratapi sesuatu, bagaikan meratapi kematian. Ingatlah bagaimana
masyarakat Aceh memperingati “Asyura” dengan nyanyian dan hikayat Hasan
Husen, semua dilantunkan dalam irama pilu penuh duka lara.
Di komunitas lain di Pidie, agak menarik
disimak rentetan nama nama anggota keluarga Sayed (Habib). Sebut saja
berawal dari Nama Sayed Idris alias Teungku Syik di Keude, memiliki tiga
anak laki laki dan dua anak perempuan. Yang laki laki bernama Sayed
Hasyem, Sayed Husen, Sayed Abidin (Zainal Abidin), Sementara anak
perempuannya bernama Cutwan Dhien dan Cutwan Samalanga (nama aslinya
tidak lagi dikelnal lagi) Sayed Husen berputrakan Sayed Abubakar, Sayed
Puteh, dan Sayed Bunthok, sementara yang perempuan bernama Cutwan
Syarifah, Cutwan Manyak dan Cutwan Fatimah.
Sayed Zainal Abidin mempunyai seorang
putri tunggal bernama Ummi Kalsum (Cutwan Kasum) Dari perkawinannya
dengan saudara sepupu, Sayed Abubakar, Cutwan Kasum memiliki saeorang
putri tunggal diberi nama Cutwan Fatimah, yang menikah dengan Sayed Ali
bin Sayed Abdullah Bambi. Sayed Abdullah Bambi menikah dengan Cutwan
Khadijah binti Habib Husen Az-Zahir. Sementara kakak Cutwan Khadijah
bernama Habib Hasan dan Habib Ahmad Sabil. Khadijah sendiri berputrakan
selain Sayed Ali adalah Sayed Muihammad, dan Aja Rohani.
Sementara Habib Hasyem alias Habib
Peureumbeue, mempunyai beberapa orang putra, antara lain Sayed Ahmad
(Pak Mukim) Sayed Abdullah, dan yang perempuan bernama Cutwan Khadijah
pula. Cutwan Khadijah menikah dengan Habib Ahmad Mon Keulayu, dan
berputrakan antara lain Sayed Hasan, Sayed Husen, Sayed Aabdurrahman,
Sayed Alwi, Sayed Ali dan Sayed Jamaluddin. Simaklah putaran nama nama
itu, semuanya berkisar sekitar nama keluarga Rasulullah, mulai dari
Hasyem, Abdullah, Khadijah, Ahmad (Muhammad) Ali, Fatimah, Hasan, Husen,
Umi Kalsum, Zainal Abidin, Abubakar, dst. Sementara masyarakat umum
yang bukan keturunan Sayed, selalu memberikan nama anak anak mereka
dengan nama nama Abbas, Hamzah, Aminah, Thaleb, Zainab, Rukaiyah,
disamping nama nama seperti yang saya sebutkan itu.
Apakah fenomena ini dapat dijadikan
indikasi bahwa para pemilik nama nama itu merupakah pengikut Syiah Aceh?
Apakah nama nama demikian karena menasabkan diri pada keturunan
Rasulullah? Atau telah terjadi pertalian dua kepentingan, petama
menasabkan diri pada darah nabi, dan kedua melestarikan nama nama yang
dikenal sebagai nama ahlul bait yang utama? Tentu hal ini memerlukan
penelitian lebih lanjut.
Simak pula, kisah yang selalu dilantunkan pada bulan Muharram (bulan dimana syahidnya Sayyidina Husen di Karbala):
//”Bak siploh uroe buleueun Muharram/ Kesudahan Husen Jamaloe (Jamalul/ Peu na mudah ta khanduri / Po Tallah bri pahla dudoe”// ( “Sepuluh hari bulan Muharram/ Kesudahan Husen Jamalul/ Jika ada kemudahan agar ber khanduri/ Allah memberi pahla nantinya”)
Bagaimanan jika disimak praktek ritual
ibadah wajib seperti shalat lima waktu, puasa, zakat dan haji? Orang
Aceh semuanya mengikuti praktek ibadah kaum Sunny, sebagaimana lazimnya
kaum muslimin ditempat tempat lain di Indonesia. Namun bacaan shalawat
kepada Nabi dan keluarganya, selalu diucapkan dengan menambahkan kata
Sayyidina di depan nama Muhammad, dan Ibrahim. “Allahumma shalli ala
Sayyidina Muhammad, wa ’ala ali Sayyidina Muhammad, kama shallaita ala
Sayyidina Ibrahim, wa ala ali Sayyina Ibrahim, dst” Hal ini amat
ditentang oleh pengikut Wahabi yang sangat anti terhadap praktek ibadah
seperti memuja nama Rasul itu dengan meletakkan nama Sayyidina di depan
nama nama mereka.
Saya hampir sampai pada kesimpulan bahwa
orang Aceh itu pencinta ahlul bait yang sangat setia, kalaupun mereka
tidak pernah mengaku sebagai pengukut syi‘ah. Bukankah pada masa
tertentu dalam sejarah Islam, kaum syi‘ah meperkenalkan istilah taqiyah
(bersembunyi) dan dari itu lahirlah ungkapan, bahwa orang yang mengaku
dirinya syi‘ah bukanlah syi‘ah lagi”
Simaklah sebuah ceritera lucu tapi
mengharukan, yang berlaku dalam satu keluarga miskin dan buta huruf di
sebuah desa di Aceh pada tahun 1950-an. Tersebutlah nama Waki Saad
Gapui, yang menikah dengan prempuan desa buta huruf, Maimunah namanya.
Mereka berputra kan beberapa orang dan semua laki laki. Saad adalah
penggemar hikayat Hasan Husen, seperti juga penduduk kampung lainnya.
Maka dalam hikayat itu dikisahkan begini:
“Hasan dan Husen cuco di Nabi/ Aneuek tuan Siti Fatimah Dora/ Tuan teu Husen Syahid dalam Prang / Tuan teu Hasan syahid ji tuba/ Syahid di Husen ka keunong beusoe/ Di Hasan sidroe keunong bencana (racun)/ Tuan teu Husen syahid dalam Prang/ Tuan teu Hasan di rumoh tangga”//
Terkesima dengan kegungan nama yang
disebut dalam bait hikayat itu, Saad sepakat memberikan nama nama
anaknya seperti nama nama cucunda Nabi. Yang tertua diberi nama Hasan
(Keuchik Hasan) yang kedua diberi nama Dan (Apa Dan) dan yang ketiga
diberi nama Husen (meninggal waktu kecil). Maka kalau dibaca dalam satu
nafas menjadi Hasan Dan Husen dilanjutkan dengan Cuco di Nabi. Padahal
kata sambung dan itu bukan nama orang. Saad tidak peduli, dan nama anak
keduanya tetap saja DAN, meskipun ketika dewasa nama itu menjadi Mad
Dan, karena kesulitan menulis nama dalam KTP. Lalu adik adiknya diberi
nama Sulaiman (nama Nabi), Ibrahim (nama Nabi), Zainal Abidin (nama
putra Husen) dan Abdul Hamid. Apa yang terjadi dalam kehidupan kejiwaan
Saad?Meskipun buta huruf dan petani biasa, Saad merasa sangat dekat
dengan kehidupan Rasulullah, sehingga kumandang nama ahlul bait selalu
terdengar dalam keluarga mereka. Saya merasa yakin, seandainya Saad
memiliki anak perempuan, pasti akan diberi nama Khadijah, Fatimah atau
Aminah!
Pertanyaannya kini adalah, apalah, sekali
lagi, hal ini dapat dijadikan indikator bahwa orang Aceh baik keturunan
Sayyed, atau orang biasa dapat disebut pengukut Syi‘ah? Atau dengan
sebutan lain, apakah mereka ini bisa dipanggil dengan sebutan Syi‘ah
Aceh? Saya sendiri cenderung berfikir demikian. Namun agar praduga ini
cukup memiliki hujjah yang kuat, perlu dilakukan penelitian yang lebih
dalam tentang fenomena yang saya uraikan dalam tulisan ini. Ini perlu
dilakukan untuk memastikan bahwa Islam yang mula mula masuk ke Aceh
justru berasal dari para ahlul bait yang hijrah karena tekanan politik
dinasti Ummayah (turunan Muawiyah bin Abu Sofyan) terhadap keturunan
Sayyidina Ali yang belakangan dikenal dengan kaum Alawiyin, pengikut Ali
yang sepupu dan menantu Rasulullah.
Ingatlah pula bahwa pada saat haji wadak,
Rasul pernah berkata di hadapan jama‘ah yang bergerak kembali ke
Madinah setelah selesai berhaji. Rasul sawa sambil mengangkat tangan
Ali, Rasul bersabda, “Wahai saudaraku kaum muslimin, aku dengan dia
(sambil menunjuk Ali) bagaikan Musa dengan Harun, jika sesudah ku masih
ada nabi, maka dialah orangnya. Namun karena tak ada nabi sesudahku,
maka dialah penerusku. Kau saksikankah ucapanku ini wahai sekalian
manusia?” kata Rasul dibukit Ghadir Khum itu. Maka dari turunan
Sayyidina Ali itulah, kaum Alawiyin membangsakan diri. Wallahu a‘lamu
bis-shawab.
*) Penulis adalah pemerhati sejarah dan kebudayaan, pegiatan Aceh Cultur Institut (ACI)
0 komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan Komentar mu sob !!!