“Hadits” merupakan kata yang sudah tidak asing lagi kita dengar,
bahkan mungkin setap hari kita mendengar kata tersebut. Kita tahu betapa
pentingnya hadits. Hadits merupakan pedoman kita yang kedua setelah Al
Qur’an. Hadits adalah segala perkataan, perbuatan, dan penetapan
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, ini adalah salah satu
pengertian Hadits, walaupun ada perbedaan pendapat Ulama tentang
pengertian Hadits, namun bukan itu yang ingin saya bahas. Yang ingin
saya bahas adalah berkaitan dengan hadits :
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
“Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaklah
dia mempersiapkan tempat duduknya di neraka.” (HR. Al-Bukhari no. 107
dan Muslim no. 3)
Mungkin sebagian kita mengira ketika membaca hadits itu “ Itukan bagi
orang yang berdusta atas nama Rasulullah saja “ . Ketahuilah saudaraku,
maksud hadits tersebut bukan hanya itu saja. Ada maksud lain lagi, apa
itu? Yaitu orang-orang yang “ Asal “ dalam menyampaikan hadits, tanpa
tahu sanad dan perawinya, serta tanpa tahu nilai sanadnya, juga masuk
dalam kategori berdusta atas nama Rasulullah shallallahu’alaihi wa
sallam.Perhatikan beberapa perkataan para Ulama tentang demikian :
Berkata Al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah :
مَنْ حَدَّثَ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
حَدِيثًا لَظَّنَّ مُحَدِّثًا عَنْهُ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَالْمُحَدِّثُ
عَنْهُ بِغَيْرِ الْحَقِّ مُحَدِّثٌ عَنْهُ بِالْبَاطِلِ وَالْمُحَدِّثُ
عَنْهُ بِالْبَاطِلِ كَاذِبٌ عَلَيْهِ كَأَحَدِ الْكَاذِبِينَ عَلَيْهِ
الدَّاخِلِينَ فِي قَوْلِهِ عَلَيْهِ السَّلَامُ: مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ
مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa yang menceritakan (hadits) dari Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dengan dasar zhan (sangkaan), berarti ia telah
menceritakan (hadits) dari beliau dengan tanpa haq, dan orang yang
menceritakan (hadits) dari beliau dengan cara yang batil, niscaya ia
menjadi salah seorang pendusta yang masuk kedalam sabda Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam :”Barangsiapa yang sengaja berdusta atas (nama)ku,
hendaklah ia mengambil tempat tinggalnya di neraka” (Syarah Musykil
al-Atsar no. 426, I/373)
Berkata Al Imam Ibnu Hajar al-Haitami rahimahullah :
مَا ذكره من الْأَحَادِيث فِي خطبه من غير أَن يبين رواتها أَو من
ذكرهَا فَجَائِز بِشَرْط أَن يكون من أهل الْمعرفَة فِي الحَدِيث، أَو
ينقلها من كتاب مؤلفة كَذَلِك، وَأما الِاعْتِمَاد فِي رِوَايَة
الْأَحَادِيث على مُجَرّد رؤيتها فِي كتاب لَيْسَ مُؤَلفه من أهل الحَدِيث،
أَو فِي خطب لَيْسَ مؤلفها كَذَلِك فَلَا يحل ذَلِك، وَمن فعله عُزِّر
عَلَيْهِ التعزيز الشَّديد، وَهَذَا حَال أَكثر الخطباء فَإِنَّهُم
بِمُجَرَّد رُؤْيَتهمْ خطْبَة فِيهَا أَحَادِيث حفظوها وخطبوا بهَا من غير
أَن يعرفوا أَن لتِلْك الْأَحَادِيث أصلا أم لَا، فَيجب على حكام كل بلد
أَن يزجروا خطباءها عَن ذَلِك
“Menyebutkan hadits-hadits dalam khutbah tanpa menyebutkan para
perawinya dibolehkan dengan syarat bahwa ia sebagai ahli hadits, atau ia
menukilnya dari buku yang penulisnya adalah ahli hadits. Adapun
berpegang pada suatu hadits yang ia dapatkan dari sebuah buku yang
penulisnya tidak tergolong ahli hadits, atau di buku-buku khutbah yang
penulisnya juga demikian, maka hal itu tidak diperbolehkan. Barang siapa
yang melakukannya, ia berhak diberi hukuman yang keras. Ternyata,
demikianlah keadaan para khatib. Mereka hanya melihat buku-buku khutbah
yang di dalamnya terdapat hadits, mereka pun menghafalkannya, lalu ia
sampaikan dalam khutbahnya, tanpa memperdulikan apakah hadits-hadits
tersebut ada dasarnya atau tidak? Maka wajib atas para penguasa setiap
negara untuk memepringatkan para khatib yang melakukan hal demikian.”
(Al-Fatawa al-Haditsiyah hal. 32, lihat juga Koreksi Total Praktek
Khutbah dan Ceramah hal. 32 karya Su’ud bin Malluh bin Sulthan
al-’Anazi.)
Berkata Al Imam al-Anshari rahimahullah :
مَنْ أرادَ الاحتجاجَ بحديثٍ من السُّنَنِ، أَوْ من المسانيد أنَّه إنْ
كَانَ متأهّلاً لمعرفةِ ما يحتجُّ بِهِ مِنْ غيرِهِ، فلا يَحتجُّ بِهِ،
حَتَّى ينظرَ في اتِّصالِ إسنادِهِ، وحالِ رُواتِهِ، وإلاّ فإن وَجَدَ
أحداً من الأئِمَّةِ صحَّحَهُ، أَوْ حَسَّنَهُ فَلَهُ تقليدُهُ، وإلاَّ فلا
يُحتجُّ بِهِ
“Seorang yang ingin berdalil dengan suatu hadits yang terdapat dalam
kitab Sunan dan Musnad, (maka dia berada dalam dua kondisi). Jika dia
seorang yang mampu untuk mengetahui (kandungan) hadits yang akan
dijadikan dalil, maka dia tidak boleh berdalil dengannya hingga dia
meneliti ketersambungan sanad hadits tersebut (hingga nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam) dan kapabilitas para perawinya. Jika dia tidak mampu,
maka dia boleh berdalil dengannya apabila menemui salah seorang imam
yang menilai hadits tersebut berderajat shahih atau hasan. Jika tidak
menemui seorang imam yang menshahihkan hadits tersebut, maka dia tidak
boleh berdalil dengan hadits tersebut.” (Ushul Fiqh ‘ala Manhaj Ahli
al-Hadits hal 15, juga di Fath al-Baqi fi Syarh Alfiyah al-’Iraqi hal.
162.)
Berkata Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah :
من أراد أن يحتج بحديث من السنن أو بأحاديث من المسانيد واحد؛ إذ جميع
ذلك لم يشترط من جمعه الصحة ولا الحسن خاصة، فهذا المحتج إن كان متأهلا
لمعرفة الصحيح من غيره، فليس له أن يحتج بحديث من السنن من غير أن ينظر في
اتصال إسناده وحال رواته كما أنه ليس له أن يحتج بحديث من المسانيد حتى
يحيط علما بذلك.
وإن كان غير متأهل لدرك ذلك فسبيله أن ينظر في الحديث إن كان خرج في الصحيحين أو صرح أحد من الأئمة بصحته، فله أن يقلد في ذلك.
وإن لم يجد أحدا صححه ولا حسنه فما له أن يقدم على الاحتجاج به فيكون كحاطب ليل فلعله يحتج بالباطل وهو لا يشعر.
“Cara yang harus ditempuh bagi orang yang ingin berhujjah dengan
hadits yang tertera dalam kitab-kitab Sunan dan kitab-kitab Musnad itu
satu, karena semua kitab itu tidak mensyaratkan shahih dan hasan dalam
penghimpunannya. Jadi, bila orang yang hendak berhujjah ini mampu untuk
mengetahui hadits shahih dari lainnya, maka ia tidak boleh berhujjah
dengan hadits dari kitab-kitab Sunan itu sebelum ia memperhatikan
ketersambungan sanadnya dan keadaan para perawinya. Selain itu, ia juga
tidak boleh berhujjah dengan hadits dari kitab-kitab Musnad sampai ia
benar-benar menguasai disiplin ilmu ini.
Dan bila orang yang hendak
berhujjah tidak mampu melakukan hal itu maka jalan terbaik baginya
adalah memperhatikan hadits tersebut. Bila hadits tersebut disebutkan
dalam shahihain atau ada di antara ulama hadits yang secara jelas
menyatakan keshahihannya maka ia boleh mengikutinya dalam masalah
tersebut.
Bila ia tidak menjumpai seorang ulama menilai hadits itu shahih atau hasan
maka ia tidak boleh berhujjah dengannya. Orang semacam ini ibarat orang
yang mencari kayu bakar di malam yang gelap gulita. Boleh jadi ia
berhujjah dengan suatu riwayat yang bathil, tapi ia tidak merasa.”
(An-Nukat ‘ala Kitab Ibn Shalah, 1/449)
Berkata Al Imam al-Munawi asy-Syafi’i rahimahullah :
فليس لراوي حديث أن يقول قال الرسول إلا إن علم صحته ويقول في الضعيف
روى أو بلغنا فإن روى ما علم أو ظن وضعه ولم يبين حاله أيدرج في جملة
الكذابين لإعانته المفتري على نشر فريته فيشاركه في الإثم كمن أعان ظالما
ولهذا كان بعض التابعين يهاب الرفع ويوقف قائلا الكذب على الصحابي أهون
Maka tidak boleh bagi seseorang yang meriwayatkan hadits untuk
berkata : “Rasulullah bersabda” kecuali jika ia mengetahui shahihnya
hadits tersebut, dan ia berkata pada hadits dhoif : “Telah
diriwayatkan..” atau “Telah sampai kepada kami…”. Jika ia meriwayatkan
hadits yang ia tahu atau ia persangkakan merupakan hadits palsu lantas
ia tidak menjelaskan keadaannya maka ia termasuk dalam barisan pendusta,
karena ia telah membantu sang pemalsu hadits dalam menyebarkan
kedustaannya, maka iapun ikut menanggung dosa, seperti seseorang yang
menolong orang yang dzolim. Oleh karenanya sebagian tabi’in takut untuk
menyandarkan hadits kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan
tetapi ia menyandarkan hadits kepada sahabat dan berkata, “Dusta atas
nama shahabat lebih ringan” (Faidhul Qadhir juz 6 hal. 116)
Al-Qodhi Abul Mahasin Yusuf bin Musa Al-Hanafi rahimahullah berkata :
قال الله تعالى: {أَلَمْ يُؤْخَذْ عَلَيْهِمْ مِيثَاقُ الْكِتَابِ أَنْ
لا يَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ} والقول عن الرسل قول على الله
والحق هنا كهو في قوله تعالى: {إِلَّا مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ} فكل من شهد
بظن شهد بغير حق إذا لظن لا يغني من الحق شيئا فكذا من حدث عن النبي صلى
الله عليه وسلم بالظن حدث عنه بغير حق فكان باطلا والباطل كذب فهو أحد
الكاذبين عليه الداخلين في قوله: “من كذب علي فليتبوأ مقعده من النار”
ونعوذ بالله من ذلك
“Allah berfirman “Bukankah Perjanjian Taurat sudah diambil dari
mereka, Yaitu bahwa mereka tidak akan mengatakan terhadap Allah kecuali
dengan al-haq/yang benar”, dan perkataan dari Rasulullah adalah
perkataan atas nama Allah. Al-Haq pada ayat ini seperti al-Haq dalam
firman Allah “Kecuali orang yang menyaksikan dengan al-Haq/kebenaran .”
Maka setiap orang yang mempersaksikan dengan zhon (prasangka) maka ia
telah mempersaksikan dengan selain al-Haq, karena zhon tidaklah
memberikan kebenaran sama sekali. Maka demikian pula orang yang
menyampaikan sebuah hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dengan zhon/persangkaan maka ia telah menyampaikan dari Nabi dengan
selain al-Haq, maka hal ini merupakan kebatilan, dan kebatilan adalah
dusta. Maka jadilah ia salah seorang dari para pendusta atas nama Nabi,
dan termasuk orang-orang yang masuk dalam sabda Nabi : “Barangsiapa yang
berdusta atasku maka bersiaplah mengambil tempatnya di neraka”, dan
kita berlindung dari hal ini” (Al-Mu’tashor min al-Mukhtashor min
Musykil al-Aatsaar 2/262)
Itulah beberapa perkataan para Ulama kita rahimakumullah. Jadi
saudaraku, berhati-hatilah dalam menyampaikan hadits. Saya sangat sering
melihat orang-orang yang “ asal “ dalam menyampaikan hadits, khususnya
di Facebook, tidak menyebutkan sanadnya, tidak menyebutkan perawinya,
serta tidak menyebutkan bagaimana nilai sanadnya. Terakhir saya ingin
menyampaikan dua hadits sebagai penutup, semoga menjadi renungan.
عن أبي هريرة قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: كَفَى بِالْمَـرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَح
Dari Abu Hurairah berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu
alaihi wa sallam, “Cukuplah seseorang itu berdosa bahwa ia menceritakan
semua yang ia dengar”. ( HR Muslim: 5 dan Abu Dawud: 4992. Berkata asy-
Syaikh al-Albaniy: Shahih sebagaimana di dalam Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4482 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 2025)
Berkata al-Imam Ibnu Hibban rahimahullah, “Di dalam hadits ini
terdapat ancaman bagi seseorang yang menyampaikan setiap apa yang ia
dengar sampai ia tahu dengan seyakin-yakinnya bahwasanya hadits atau
riwayat tersebut adalah shahih. (Kitab Majruhiin minal Muhadditsin: I/
16-17 oleh
al-Imam Ibnu Hibban, tahqiq Hamdi Abdul Majid as-Salafi )
عن أبي هريرة عَن رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم أَنَّهُ قَالَ:
سَيَكُوْنُ فىِ آخِرِ الزَّمَانِ نَاسٌ مِنْ أُمَّتىِ يُحَدِّثُوْنَكُمْ
بِمَا لَمْ تَسْمَعُوْا أَنْتُمْ وَ لاَ آبَاؤُكُمْ فَإِيَّاكُمْ وَ
إِيَّاهُمْ
Dari Abu Hurairah dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,
bahwasanya Beliau bersabda, “Akan ada sekelompok orang dari umatku di
akhir zaman yang menceritakan (hadits) kepada kalian yang tidak pernah
didengar oleh kalian dan bapak-bapak kalian. Waspadalah kalian terhadap
mereka”. (HR Muslim: 6. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih
sebagaimana di dalam Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3667 )
Wallahu'alam.
Oleh : Muhammad Rizki
SUMBER : http://www.voa-islam.com
0 komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan Komentar mu sob !!!